Langsung ke konten utama

MAKALAH

POSISI ISLAM SEBAGAI ILMU PENGETAHUAN
Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas
Mata kuliah : METODOLOGI STUDI ISLAM
Dosen pengampu : SYAHMIDI,S.Th.I, M.Pd.I

Berkas:Logo IAIN Palangka Raya.jpeg - Wikipedia bahasa Indonesia ...

Di susun oleh:
SRI HARIANTY
NIM : 1901140040
BAHROL
NIM : 1901140028
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PALANGKA RAYA
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
JURUSAN PENDIDIKAN MIPA
PROGRAM STUDI TADRIS BIOLOGI
2020 M/ 1442 H


KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena telah memberikan karunia-Nya sehingga makalah ini bisa selesai tepat pada waktunya. Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini adah untuk memenuhi tugas Mata Kuliah “ METODOLOGI STUDI ISLAM “
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dan mendukung dalam penyusunan makalah ini. Terutama kepada Dosen Pengampu Mata kuliah “METODOLOGI STUDI ISLAM “SYAHMIDI,S.Th.I, M.Pd.I.
Penulis sadar bahwa makalah ini belum sempurna dan memerlukan berbagai perbaikan, oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat dibutuhkan.
Akhir kata semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembacanya dan semua pihak.
Palangka Raya 20 Maret 2020
Penyusun

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .................................................................................................... i
DAFTAR ISI ................................................................................................................. ii
BAB 1 PENDAHULUAN .............................................................................................. 1
A. Latar Belakang .............................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ......................................................................................... 2
C. Tujuan Makalah ............................................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN ............................................................................................... 3
A. PENGERTIAN ILMU................................................................................... 3
B. PEMBAGIAN ILMU DALAM ISLAM ....................................................... 5
C. KEDUDUKAN ILMU DALAM ISLAM ...................................................... 8
BAB III PENUTUP ..................................................................................................... 12
A. KESIMPULAN ........................................................................................... 12
B. SARAN ...................................................................................................... 12
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................. 13


BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang 
    Ilmu pengetahuan merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dari ajaran agama Islam, sebab kata islam itu sendiri, dari kata dasar aslama yang artinya “tunduk patuh”, mempunyai makna “tunduk patuh kepada kehendak atau ketentuan Allah”. Dalam Surat Ali Imran ayat 83, Allah menegaskan bahwa seluruh isi jagat raya, baik di langit maupun di bumi, selalu berada dalam keadaan islam, artinya tunduk patuh kepada aturan-aturan Ilahi. Allah memerintahkan manusia untuk meneliti alam semesta yang berisikan ayat-ayat Allah. Sudah tentu manusia takkan mampu menunaikan perintah Allah itu jika tidak memiliki ilmu pengetahuan. Itulah sebabnya, kata alam dan ilmu mempunyai akar huruf yang sama: ain-lam-mim. Ilmu bukan sekedar pengetahuan, tetapi merangkum sekumpulam pengetahuan berdasarkan teori-teori yang disepakati dan dapat secara sistematik diuji dengan seperangkat metode yang diakui dalam bidang ilmu tertentu. Dipandang dari sudut filsafat, ilmu terbentuk karena manusia berusaha berfikir lebih jauh mengenai pengetahuan yang dimilikinya. Ilmu pengetahuan adalah produk dari epistemologi. Iptek atau Ilmu Pengetahuan dan Teknolgi, merupakan salah satu hal yang tidak dapat kita lepaskan dalam kehidupan kita. Kita membutuhkan ilmu karena pada dasarnya manusia mempunyai suatu anugerah terbesar yang diberikan Allah SWT hanya kepada kita, manusia, tidak untuk makhluk yang lain, yaitu sebuah akal pikiran. Dengan akal pikiran tersebutlah, kita selalu akan berinteraksi dengan ilmu. Akal yang baik dan benar, akan terisi dengan ilmu-ilmu yang baik pula. Sedangkan teknologi, dapat kita gunakan sebagai sarana untuk mendapatkan ilmu pengetahuan itu sendiri. Namun, dalam mempelajari dan mengaplikasikan iptek itu sendiri, harus memperhatikan beberapa hal yang penting. Tidak semua sains dan teknologi yang diciptakan para ilmuwan itu baik untuk kita. Terkadang ada pula yang menggunakan bahan – bahan berbahaya bagi kesehatan lingkungan sekitar. Beberapa dari mereka ada yang menyalahgunakan hasil penelitian tsb.     Sesungguhnya Allah melarang kita membuat pengrusakan di bumi, seperti dalam firman-Nya dalam (Q.S. Al-A’raf : 56). “Dan janganlah kamu membuat kerusakan dimuka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdo’alah kepadaNya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat kepada orang –orang yang berbuat baik.” Kita sebagai manusia, tak lepas dari tanggung jawab kita sebagai khalifah dimuka bumi. Dimana kita ditugaskan untuk menjaga bumi dan seluruh isinya agar tetap asri. Ada alasan mengapa Allah menciptakan kita sebagai khalifah dibumi ini? yaitu karena manusia memiliki akal untuk berfikir dan mengenali lingkungannya. Inilah yang membedakan manusia dengan makhluk hidup lainnya. Bahkan malaikat pun pernah protes lantaran Adam memiliki jabatan sebagai khalifah. Seperti yang dikatakan Allah dalam firman-Nya Q.S. Al-Baqarah : 34 “Dan ingatlah tatkala kami berkata kepada malaikat: Sujudlah kamu kepada Adam! Maka sujudlah mereka, kecuali iblis enggan dia dan menyombongkan diri, karena dia adalah dari golongan makhluk yang kafir.” Dengan surat tersebut menjelaskan bahwa kemampuan berfikir itulah yang membuat manusia dijadikan sebagai khalifah dimuka bumi ini jika dibandingkan dengan malaikat yang kita ketahui sebagai makhluk yang maksum dari dosa. Bisa disimpulkan bahwa untuk menjadi khalifah tidak hanya bertasbih menyebut asma-Nya tapi juga kemampuannya dalam mengenali lingkungannya dan berfikir. Ini adalah karunia yang besar bagi kita. Seharusnya kita bersyukur dan mampu memanfaatkannya dengan baik.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari ilmu?
2. Bagaimana Pembagian ilmu dalam islam?
3. Bagaimana kedudukan ilmu pengetahuan dalam islam?

C. Tujuan Makalah
1. Untuk mengetahui pengertian dari ilmu.
2. Untuk mengetahui pembagian ilmu dalam islam.
3. Untuk mengetahui kedududkan ilmu pengetahuan dalam islam.


BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN ILMU
    Istilah “ilmu” sering dipahami sebagai sesuatu yang sama dengan sciencedalam bahasa Inggris, wissenschaft (Jerman) dan etenschap (Belanda), yang bermakna “tahu”. Term “ilmu” berasal dari kata ‘alima’ (Arab) yang berakna mengetahui. Dengan demikian secara bahasa ilmu kata ilmu berakna pengetahuan. Namun demikian secara istilahi terdapat perbedaan yang cukup jelas antara pengertian atau definisi yang dikemukakan oleh para ilmuwan pada umumnya a, dengan pengertian yang dikemukakan oleh saintis muslim khusunya.
    Endang Saifuddin Anshari (1985) menyitir beberapa pengertian ilmu (science) dari para pemikir, diantaranya Karl Pearson dalam bukunya Grammar of Science, merumuskan : ”Science is the complete and consistent description of the facts of experience in the simplest possible terms” (Ilmu pengetahuan ialah lukisan keterangan yang lengkap dan konsisten tentang fakta pengalaman dengan istilah yang sederhana atau sesedikit mungkin). Menyitir definisi Baiquni, Anshari mengatakan bahwa : ”Science sebagai general concensus dari komunitas ilmuwan”.
Pengertian-pengertian tersebut di atas menunjukan bahwa, ilmu adalah pengetahuan yang mempunyai ciri-ciri, code, dan persyaratan tertentu, yaitu: “sistematik, rasional, empiris, umum, dan kumulatif (bersusun timbun)”. Dengan istilah lain, ilmu adalah pengetahuan yang tersusun secara sistematis yang diperoleh melalui langkah-langkan metodologi ilmiah, baik tentang perilaku sosial, budaya, maupun gejala-gajala alam yang dapat diamati dan diukur.
    Unsur-unsur terpenting ilmu meliputi : Sistem, yang berfungsi untuk membadakan objek kajian ilmu yang satu dengan ilmu lainnya, yang sering diebut dengan aspek ontologi. Metode, cara yang dipakai ilmuwan untuk memahani objek studi, yang sering dikenal dengan istilah epistemologi. Fakta yaitu deskripsi tentang gejala-gejala kebenaran yang ada pada objek studi, dan Teori yaitu seperangkat pernyataan logis dan sistematis tentag gejala-gejala yang diamati..
Sedangan pengertian ilmu yang disampaikan oleh pemikir muslim kontemporer, yakni al-Attas di dalam karya-karyanya yang membahas tentang ilmu pendidikan berbeda dengan ilumuwan-ilmuwan pada umunya. Beliau menyatakan:
“Science is all knowledge comes from God and is interpreted by the soul trought its spiritual and physical faculties and senses, it follow that knowledge, with reference to God as being its origin, is the arrival (husul) in the soul of the meaning (ma’na) of a thing or an object of knowledge ; and with reference to thr soaul as being its interpreter, knowledge is the arrival (wusul) of the soul at the meaning of a thing or an object of knowledge” (al-Attas, 2001).
    Pengertian ilmu tersebut jika dirumuskan dalam kalimat yang lebih sederhana menjadi: “Ilmu itu tibanya ma‘na sesuatu pada diri, dan berhasilnya diri menyerapinya.” (Isma’il, 2007). Dari pembahasan di atas maka konsep ilmu dalam definisinya memiliki kandungan makna sebagai berikut:
1. Pencapaian ilmu melibatkan Allah dan manusia
Uraian di atas mengandung makna bahwa perolehan ilmu selalu melibatkan dua pihak yakni yang memberi dan yang menerima. Allah adalah pemberi ilmu dan manusia sebagai yang merimanya. Jadi, sumber ilmu yang sebenarnya adalah Allah, dan manusia adalah penerima anugerah ilmu dan kefahaman.
2. Proses epistemologis melibatkan segi aktif dan pasif
Secara epistemologis pencapaian ilmu terdiri atas dua segi yaitu, segi pasif dan segi aktif. Segi pasif nampak dalam kalimat “the arrival in the soul of the meaning of a thing or an object of knowledge” dan segi aktif mengarah kepada manusia sebagai penimba ilmu dengan kehendak yang kuat.
Meskipun secara epistemologi proses pencapaian ilmu selalu melibatkan dua segi, yakni pasif dan aktif, namun kadar kekuatan kedua segi tersebut berbeda-beda sesuai dengan tingkat kecerdasan dan jenis-jenis ilmu yang dipelajari seseorang. Ada jenis-jenis ilmu yang cara mendapatkannya lebih membutuhkan segi pasif dan ada juga jenis ilmu yang usaha untuk mendapatkannya lebih membutuhkan segi aktif. Pada dasarnya, ilmu-ilmu yang segi pasifnya lebih kuat dinamakan ilmu makrifat. Sedangkan ilmu pengetahuan yang segi aktifnya lebih kuat sering disebut dengan sains. Ilmu makrifat inilah yang lazimnya masuk dalam kategori ilmu-ilmu fardhu ‘ain (Al-Attas, 1981)

B. PEMBAGIAN ILMU DALAM ISLAM
    Al-Ghazali membagi ilmu ke dalam dua kelomok, yakni ilmu fardhu ‘ain dan ilmu fardhu kifayah. Ilmu fardu ‘ain adalah ilmu yang diwajibkan atas tiap-tiap individu sedangkan ilmu fardhu kifayah adalah ilmu yang diwajibkan kepada umat Islam secara kolektif. Jadi fardhu ‘ain adalah kewajiban individu per individu sedangkan fardhu kifayah adalah kewajiban umat Islam secara keseluruhan. Implikasi dosa jika ilmu farhu ‘ain tidak dilaksanakan adalah ditanggung individu, sementara implikasi dosa jika ilmu fardhu kifayah tidak dilaksanakan ditanggung bersama-sama anggota mayarakat.
1. Ilmu Fardhu ‘ain
Sebagaimana disampaikan oleh ulama salaf, ilmu yang bersifat fardhu untuk dipelajari oleh setiap muslim adalah ilmu yang mau tidak mau harus dipelajari oleh umat Islam. Ilmu fardhu ‘ain wajib bagi semua manusia, baik bagi masyarakat awam atau para ulama.
 Dimensi Pertama Ilmu Fardhu ‘ain
Dimensi pertama llmu fardhu ‘ain adalah ilmu tetang aqidah yaitu, ilmu yang membenarkan segala sesuatu yang benar, yang disampaikan Allah kepada Rasulullah dengan i‘tiqad yang kuat tanpa keraguan. Dimensi pertama ilmu fardhu ‘ain ini juga disebut dengan ilmu tauhid, karena ruang lingkupnya adalah berupa ma’rifatullah.
Tingkat kedalaman ilmu yang wajib dipalajar oleh seoang muslim yang satu dengan muslim yang lain berbeda-bedaan sesuai dengan keadaan masing- masing. Ada orang-orang sampai membutuhkan argumen-argumen rasonal-logis-filosofis untuk sampai kepada sebuah keyakinan yang kuat. Namun ada pula orang-orang yang hanya cukup medapatkan penjelasan dengan menggunakan ayat-ayat al-Qur’an dan hadis- hadis Rasulullah untuk sampai kepada sebuah keyakinan yang kuat. Demikian pula karena buah daripada iman adalah akhlakul karimah, maka ilmu fardhu ‘ain ini mencakup hal-hal yang bersifat lahiriyah dan ruhaniah sekaligus.
 Dimensi kedua Ilmu Fardhu ‘ain
Dimensi kedua ilmu fardhu ‘ain adalah berhubungan dengan hal-hal yang wajib dilaksanakan oleh seorang mukallaf. Terkait dengan hal ini berlaku beberapa ketentuan berikut ini:
1. Ketentuan Pertama
Bahwa kewajiban seorang mukallaf mengalami perkembangan sesuai dengan bertambahnya usia, sehingga kewajiban mempelajari ilmu fardhu ‘ain tentang ha-hal yang wajib dilaksanakan bersifat dinamis. Ilmu-ilmu fardhu ‘ain amal apa saja yang harus dipelajari seseorang berbeda-beda, karena perbedaan keadaan, kedudukan, dan perbedaan kebutuhan hidup seseorang (Adi Setia, 2007).
2. Ketentuan Kedua
Ketentuan kedua untuk menentukan ilmu- ilmu fardhu ‘ain yang behubungan dengan amal yang wajib dikerjakan adalah adanya ketentuan “larangan bagi mukallaf untuk melakukan sesuatu sebelum dia memahami ketentuan-ketentuan di dalam agama”. Misalnya, seseeorang boleh melakukan praktik perdagangan jika yang bersangkutan sudah memahami dengan benar hukum-hukum yang berkaitan dengan mu’amalah dalam Islam. Seseorang boleh terjun ke dunia perpolitikan jika sudah memahami hukum-hukum Islam yang berhubungan dengan fiqih syiyasyah dan lain- lain. Jika ilmu fardhu ‘ain yang berhubungan dengan aqidah mutlak wajib untuk setiap orang kapanpun dan dimanapun, maka ilmu fardhu ‘ain yang berkenaan dengan amalan-amalan tertentu sebagaimana contoh di atas, hanya diwajibkan kepada siapa-siapa yang hendak melaksanakannya.
 Dimensi Ketiga Ilmu Fardhu ‘ain
Dimensi ketiga ilmu fardhu ‘ain adalah berhubungan dengan apa-apa yang dilarang oleh Allah Swt untuk melaksanakannya. Dengan kata lain adalah ilmu-ilmu tentang perkara-perkara yang diharamkan Allah Swt. Dalam hal ini juga berlaku ketentuan dinamis sebagaimana ilmu yang berkaitan dengan hal-hal yang wajib dilaksanakan. Artinya kewajiban untuk mempelajari ilmu-ilmu tentang perkara yang wajib ditinggalkan pun berkembang sesuai dengan keadaan seseorang. Misalnya ada masalah yang wajib ditinggalkan oleh orang yang normal berbeda dengan yang harus ditinggalkan oleh orang bisu dan tuli, dan sebagainya.
Kewajiban untuk mempelajari hal-hal yang diharamkan juga meliputi hal-hal yang bersifat jasmaniah dan ruhaniah sekaligus. Takabur, kufur nikmat, tafakhur, riya, ghibah, tajassus, dan lain-lain adalah beberapa contoh perbuatan yang wajib ditinggalkan yang harus dipelajari secara mendalam sehingga umat Islam terjauh dari sifat-sifat negatif tersebut.

2. Ilmu Fardhu Kifayah
    Imam al-Ghazali menjelaskan bahwa ilmu fardhu kifayah memiliki dua kriteria. Kreteria pertama, yaitu ilmu-ilmu yang menjadi prasyarat bagi tegaknya urusan agama, seperti ilmu tajwid, ilmu tafsir, ilmu hadis, ilmu ushul fiqih, ilmu fiqih, dan sebagainya (Zaidi Ismal, 2007). Hal ini merupakan pengejawantahan dari firman Allah di dalam al-Qura’an: “Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan juang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam ilmu agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” (QS. At-Taubah : 122)
Kewajiban atas ilmu fardhu kifayah ditanggung bersama-sama secara kolektif oleh masyarakat. Jika beberapa mukallaf ada yang mempelajari ilmu fardhu kifayah tersebut, maka kewajiban tersebut telah dipenuhi, dan anggota masyarakat terbebas dari dosa. Sebaliknya, jka tidak ada seorangpun yang menuntut ilmu fardhu kifayah tersebut, maka semua mukallaf yang ada di komunitas tersebut menanggung dosa.
    Ilmu-lmu tersebut wajib dipelajari oleh umat Islam, akan tetapi Allah tidak memerintahkan kepada semua individu untuk menimbanya. Semua anggota masyarakat boleh menimba ilmu-ilmu tersebut. Kebutuhan dan kemaslahatan umat akan tercukupi dengan adanya sebagian individu yang menguasai ilmu-ilmu tersebut, jadi tidak perlu semua orang untuk menekuni ilmu-ilmu tersebut.
Jika kewajiban menimba ilmu fardhu kifayah sampai dilupakan, yang mengakibatkan kemaslahatan masyarakat menjadi terabaikan, orang-orang yang berkemampuan menanggung dosanya, demikian juga orang-orang yang tidak berkemampuan menjadi ikut menaggung dosa dikarenakan tidak mensuport masyarakat untuk mempelajarinya. (Zaidi Ismail, 2007).
    Al-Ghazali sebagaimana dikutip oleh Zaidi Isma’il (2007), menyatakan bahwa: “dosa tidak menuntut ilmu fardhu kifayah adalah masuk dalam kategori perbuatan membinasakan diri-sendiri, yang hal tersebut sangat dilarang oleh Allah SWT. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh Allah dalam al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat 195 sebagai berikut: “dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik”.
    Sebagai contoh misalnya, jika tidak ada umat Islam yang berupaya mendalami dan mengembangkan ilmu-ilmu berdasarkan nilai-nilai Islam (Islamisasi), maka sangat mungkin umat Islam ke depan akan mengalami kerusakan akibat terinfiltrasi pandangan hidup yang liberal dan sekular. Rusaknya pandangan hidup umat Islam bisa berimplikasi pada rusaknya ilmu pengetahuan, dan rusaknya ilmu pengetahuan akan mengakibatkan rusaknya amal perbuatan seorang muslim. Pada akhirnya akan peradaban Islam tidak akan bisa tumbuh dan berkembang sebagaimana mestinya.

C. KEDUDUKAN ILMU DALAM ISLAM
    Islam sebagaimana dijelaskan dalam puluhan ayat al-Qur’an mendudukkan ilmu dan para ilmuwan di tempat yang terhormat. Ini tidak terlepas dengan fungsi dan peran ilmu. Ilmu jelas merupakan modal dasar bagi seseorang dalam memahami berbagai hal baik terkait urusan duniawi maupun ukhrawi. Salah satu bukti nyata kemuliaan ilmu dalam Islam adalah ayat yang pertama diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad berhubungan dengan ilmu. Allah swt. berfirman, “Bacalah dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah Yang mengajarkan (manusia) dengan perantara qalam (pena). Dia mengajar- kan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS. al-‘Alaq: 3-5).
    Sebagaimana yang dijelaskan oleh Ayatullah Sayyid Hasan Sadat Mustafawi bahwa kata qalam sebenarnya juga dapat diartikan sebagai sesuatu yang dapat dipergunakan untuk mentransfer ilmu kepada orang lain. Kata qalam tidak diletakkan dalam pengertian yang sempit. Sehingga pada setiap zaman kata qalam dapat memiliki arti yang lebih banyak. Seperti pada zaman sekarang, komputer dan segala perangkatnya termasuk internet bisa diartikan sebagai penafsiran kata qalam (Ayatullah Sayyid Hasan Sadat Mustafawi:2007). Allah juga bersumpah atas nama salah satu sarana ilmu, qalam alias pena. Allah swt. berfirman, “Nun. Demi qalam dan apa yang mereka tulis. Berkat nikmat Tuhanmu kamu (Muhammad) sekali-kali bukan orang gila. Sesungguhnya bagi kamu benar-benar pahala yang besar yang tiada putusnya. Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.”(QS. al-Qalam : 1-4)
    Al-Qur’an juga banyak menyebutkan kedudukan dan keutamaan para ilmuwan. Salah satunya firman Allah swt. berikut: “Katakanlah, Adakah sama orang-orang yang mengetehui dengan orang-orang yang tidak mengetahui? Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran” (QS. al-Zumar:9). Juga dalam firman Allah swt. yang lain, “Allah akan meninggikan beberapa derajat orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan. Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS. al-Mujadilah : 11)
    Dari sekian banyak manusia yang ada di muka bumi ini, para ilmuwanlah yang dinilai paling banyak memiliki pengetahuan, pemahaman, dan keimanan pada segala hal yang berasal dari Allah. Mereka juga dinilai paling mampu dalam menyebarkan dakwah. Mengenai posisi istimewa ini, Allah swt. berfirman, “Orang-orang yang diberi ilmu (Ahli Kitab) berpendapat bahwa wahyu yang di turunkan kepadamu dari Tuhanmu adalah yang benar dan menunjuki (manusia) kepada jalan Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji” (QS. Saba’ : 6).
    Allah swt. juga berfirman dalam ayat yang lain, “Orang-orang yang mendalam ilmunya berkata, ‘Kami beriman kepada ayat-ayat mutasyabihat. Semua itu dari sisi Tuhan kami. Hanya orang-orang yang berakal yang dapat mengambil pelajaran (dari ayat-yat itu)” (QS. Ali 'Imrân : 7). Allah swt. berfirman pula, “Perumpamaan-perumpamaan itu kami buatkan untuk manusia. Tiada yang dapat memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu” (QS. al-‘Ankabut : 43).
    Allah swt. senatiasa menganjurkan para ilmuwan untuk mengamati kerajaan langit dan kerajaan bumi serta segala sesuatu yang telah diciptakan Allah, agar mereka bertambah yakin akan kekuasaan Allah. Allah swt. berfirman, “Katakanlah, ‘Berjalanlah di (muka) bumi lalu perhatikanlah bagaimana Allah menciptakan (manusia) dari permulaannya, kemudian Allah menjadikanya sekali lagi. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu” (QS. al-‘Ankabût : 20).
    Selain menganjurkan kita menuntut ilmu, Allah juga memerintahkan kita untuk senantiasa menambah ilmu pengetahuan tersebut. Karena, ilmu pengetahuan tak kenal batas dan maha luas. Allah swt. berfirman, “Katakanlah,‘Ya Tuhanku, tambahkanlah ilmu pengetahuan kepadaku” (QS. Thaha : 114). Allah swt. juga berfirman, “Kami tinggikan derajat orang yang Kami kehendaki. Di atas tiap-tiap orang yang berpenge- tahuan itu ada lagi Yang Maha Mengetahui” (QS. Yûsuf : 76). Di ayat yang lain, Allah swt. berfirman lagi, “Mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah, ruh itu termasuk urusan Tuhan-ku dan kalian hanya di beri pengetahuan sedikit” (QS. al-Isra’ : 85).
Sebagai contoh keajaiban ilmiah yang terdapat di dalam al- Qur’an, firman Allah swt. berikut: “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari saripati yang (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu (menjadi) air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging dan segumpal daging itu kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Mahasuci Allah, Pencipta Yang paling baik” (QS. al-Mukminûn : 12–14). Mengenai bahan dasar penciptaan manusia Allah swt.berfirman “Hendaklah manusia memperhatikan dari apa ia diciptakan? Dia diciptakan dari air yang terpancar, yang keluar dari antara tulang sulbi dan tulang dada” (QS. al-Thâriq : 5-7).
Meskipun demikian, al-Qur’an tidak bisa dilihat semata-mata sebagai buku ilmu pengetahuan dan buku peradaban. al-Qur’an lebih daripada itu. Ia adalah Kitab Allah yang berisi fakta, lengkap, dan komprehensif. Dalam hal ini, Allah swt. berfirman, “Kami turunkan kepadamu al-Kitab (al-Qur’an) untuk menjelaskan sesuatu dan petun- juk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri” (QS. al-Nahl : 89).
    Berdasarkan ayat di atas dapat ditegaskan bahwa al-Qur’an mencakup hal-hal yang bersifat umum, prinsipil, dan masih berupa kaidah. Lalu, semua perincian dari hal-hal yang masih umum tersebut menjadi wilayah pembahasan Hadis Nabi saw. dan ijtihad para ulama.
Selanjutnya, semua hal tersebut diserahkan sepenuhnya kepada para ilmuwan, apakah mereka dapat memanfaatkan ilmu mereka di hadapan Allah? Allah sendiri telah menyeru mereka untuk mempergunakan perangkat-perangkat keilmuan yang telah Allah anugerah- kan kepada mereka agar bisa mengangkat derajat mereka, menunjang aktivitas ketaatan mereka kepada-Nya, dan menambah keimanan mereka kepada-Nya. Apakah mereka juga sudah mengetahui bahwa ilmu yang bermanfaat yang hanya diniatkan untuk Allah semata akan menjadi pahala sedekah bagi mereka, yang senantiasa mengalir tiada hentinya setelah mereka meninggal? Dengan pemahaman seperti ini, seorang ilmuwan akan mampu berprestasi dan unggul melebihi yang lain.
    Dengan demikian, terbuktilah bahwa Islam memberi perhatian yang luar biasa agar para ilmuwan bisa berprestasi. Bahkan, al-Qur’an sendiri--menurut sebagian ahli-mampu menguatkan memori hafalan, menambah kecerdasan, membina kerangka berpikir dan sistematika retorika. Al-Qur’an pun mampu membebaskan ketegangan jiwa. Sekadar bukti, di beberapa negara Timur Tengah sebagian besar anak didik yang berprestasi adalah mereka yang menghafal al-Qur’an dan selalu mengamalkan Sunah Nabi. Mungkin penting juga bila model pembelajaran seperti ini dipraktikkan di negara kita secara bertahap (Hidayatullah,2006)

BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
    Endang Saifuddin Anshari (1985) menyitir beberapa pengertian ilmu (science) dari para pemikir, diantaranya Karl Pearson dalam bukunya Grammar of Science, merumuskan : ”Science is the complete and consistent description of the facts of experience the simplest possible terms” (Ilmu pengetahuan ialah lukisan keterangan yang lengkap dan konsisten tentang fakta pengalaman dengan istilah yang sederhana atau sesedikit mungkin).
    Al-Ghazali membagi ilmu ke dalam dua kelompok, yakni ilmu fardhu ‘ain dan ilmu fardhu kifayah. Ilmu fardu ‘ain adalah ilmu yang diwajibkan atas tiap-tiap individu sedangkan ilmu fardhu kifayah adalah ilmu yang diwajibkan kepada umat Islam secara kolektif. Jadi fardhu ‘ain adalah kewajiban individu per individu sedangkan fardhu kifayah adalah kewajiban umat Islam secara keseluruhan. Implikasi dosa jika ilmu farhu ‘ain tidak dilaksanakan adalah ditanggung individu, sementara implikasi dosa jika ilmu fardhu kifayah tidak dilaksanakan ditanggung bersama-sama anggota mayarakat.
    Islam sebagaimana dijelaskan dalam puluhan ayat al-Qur’an mendudukkan ilmu dan para ilmuwan di tempat yang terhormat. Ini tidak terlepas dengan fungsi dan peran ilmu. Ilmu jelas merupakan modal dasar bagi seseorang dalam memahami berbagai hal baik terkait urusan duniawi maupun ukhrawi. Salah satu bukti nyata kemuliaan ilmu dalam Islam adalah ayat yang pertama diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad berhubungan dengan ilmu. Allah swt. berfirman, “Bacalah dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah Yang mengajarkan (manusia) dengan perantara qalam (pena). Dia mengajar- kan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS. al-‘Alaq: 3-5).
B. SARAN
    Semoga setelah dibuatnya makalah ini oleh kami, maka kami berharap bagi pembaca agara dapat menjadikan sumber edukasi serta mengamalkanyan bila diperlukan.


DAFTAR PUSTAKA
Al-Attas, Syed Muhammad Naquib, 1981, Islam dan Secularisme, Terj. Karsidjo Djojosuwarno, Bandung : Pustaka
Ensiklopedi al-Qur’an, Jilid I; Jakarta: Bimantara, 1997.
Esniklopedi Tematis, Pergolakan Pemikiran di Bidang Ilmu Pengetahuan
Isma’il, Dr. Mohd. Zaidi Isma’il, 2007, Faham (Konsep) Ilmu dalam Islam: Mengenali Dimensi-dimensi Ilmu melalui Takrifannya, Makalah Studi Peradaban Islam, Unissula, 10-11 Nopember
Nata Abuddin, dkk, Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum Cet. I; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005
Nasution, Harun, Islam di Tinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid I Cet. V; Jakarta: UI Press,
1979.

Komentar